Aku berjalan menyusuri keramaian itu. Tak sempat terfikirkan olehku, bahwa duniaku begitu sempit. Ketika aku harus menyukai dan beranjak ada kata sayang dari bibirku, aku tau sesuatu. Zizi terus menggandengku dengan lembut. Tak mau sahabatnya ini masuk rumah sakit atau tiba-tiba ditemukan dikali dengan baju sobek-sobek.
“ Ayolah Zi, aku tak senekat itu. Imanku masih cukup kuat! “
Zizi memandangku dengan defensive, terlalu berlebihan “ Oh ya? Masa? Gitu. Selamet ye… “ Zizi malah menggodaku.
“ Apa si, Zi? “ tanyaku sambil memanjangkan bibir.
Zizi menggeleng. Setelah menghembuskan nafas, Ia berkata “ Mau kemana kita? “
Aku berfikir sejenak, “ Nyari…. “ kata-kataku keburu dipotong oleh ucapan Zizi, “ Nyari rumah Zildan? “ Zizi menatapku, ah sial! Pikiranku dan pikirannya selalu sama.
“ Ayolah, Miss..!! Lupain aja. Lu dah tau factnya dan ya, menurut gua lu harus lupain dia! “ Zizi menasehatiku.
Kawan, tlah berapa kali aku dengar nasehat-nasehat itu. Bagiku kosong, tak ada yang bisa menyatu dengan jalan fikiranku. Nihil dan tak pasti. Semua hanya mimpi. Aku baru saja beberapa bulan menyukainya. Namun, ternyata… pikiranku melayang, entah kemana.
^^^
Namanya, Muhammad Zildan Al-Kautsar. Sosoknya tegap, berwibawa, langkahnya pasti dan tatapannya setajam mata elang. Bibirnya kecil, senyumnya aduhai, luar biasa. Sayangnya, sikapnya kelewat angkuh, bagiku sebelum mengenalnya.
Entah bagaimana, aku bisa menyukainya dan entah bagaimana pula, aku bisa mengenalnya. Jika aku harus jujur, bertegur sapa, saling memandang, berbicara sepatah kata pun aku tak pernah.
Tak terhitung hari, yang jelas sejak memasuki Agustus tahun lalu aku sangat menyukainya. Aku pun tak tahu, bagaimana bisa. Yang jelas sejak aku mengikuti salah satu kompetisi antar sekolah, aku melihat kakaknya. Muhammad Hikmat Rifha’I. Bila kau tahu adiknya seperti itu, apa lagi kakaknya. Ia sangat luar biasa. Apa lagi bahasa Inggrisnya. Aku hanya bisa menganga melihatnya dilayar muka. Sayangnya, aku malah terpesona pada adiknya. Hehe, padahal yang luar biasa kakaknya. Mungkin, Karena adiknya itu bungsu dan aku cikal (sulung.red)
“ Zildan, Zildan Zi… dia bales pesan gua..!! “ Zizi hanya melotot tak percaya.
“ Apa katanya? “
Ketika kita bicara dengan hati, apa pernah hati berbohong..?
Mungkin ni jawaban atas rangkaian kata yang kau rangkai.
1000 kata maaf bagimu, 100000 kata maaf, bahkan jutaan pun,
Aku berikan padamu. Karna sungguh hati tak bisa berbohong
Zizi menggeleng tak percaya. “ Sumpah ini dia yang nulis? “ aku pun menggeleng. Dia ada di pondok pesantren modern. Dan pasti akan sulit baginya untuk keluar masuk.tapi, pesan ini baru dikirim beberapa jam yang lalu. Ah, dia sempat OL (online.red). Kenapa aku nggak OL ya?
“ Zi, artiin sih! Gua mah nggak ngerti kata-katanya! “ kataku sambil memerhatikan layar laptopku.
“ Wait. Hmm… kabar bagus ni. Paling nggak dia ada feel sama lu. Ah gimana si lu! Penyair tapi, nggak bisa mengartikan kata-kata cemen kaya gini! “
“ Really? Takut jawaban gua lebih dahsyat dari yang lu jawab! “ mataku nyaris melompat dari bingkainya. Senyumku mengembang. “ Yang bener ? “ kataku lagi. Zizi hanya mengangguk lembut. Aku cubit pipi cabinya.
“ Ah, lu kebiasaan dah. Maen cubit-cubit pipi gua “
Hingga suatu malam aku bisa Ol dengannya. Bersamaan.
Aku memulainya dichat,
Me : Ga ada permainan kata tah?
He : Gombal
Me : Angkuh…
He : ?
Me : Ia angkuh! So, ih…!!
He : Maksudnya?
Me : Gaa…
He : Maunya gimana?
Me : atu saya mah, cm mau mnta maaf, klo qmu gga ska klo saya ska sma qm..!
He : Ih, u nya aja nggak ngerti nggak pham..!!
Me : mksudnya…?
Dia keburu off, aku lihat jam didinding menunjukan pukul 20.19 iyalah, waktunya dia pulang ke pondok. Mau dia dibotakin? Haha, aku jadi ingin tau, bagaimana jika dia botak.
Pagi yang cerah, matahari bersinar cukup menyilaukan dan angin berhembus lembut memanjakan kerudung putihku. Aku senyum-senyum sendiri saat memasuki gerbang sekolah.
“ Kenapa lu? “ Zizi menatapku dengan tatapan was-was.
“ Gila! Tau nggak? “ Zizi menggelengkan kepala.
“ What? “
“ Mmm… “ aku sengaja mengulukan senyumku. “ Kasih tau nggak ya…?? “ aku membuat Zizi merubah tatapannya dari ingin tau, menjadi jengkel.
“ Apa si, Miss…?? “ tanyanya. Melihat tatapnya, yang nyaris memelas aku tak tega juga.
“ Gua Chat sama Zildan semalem!! “ kataku setengah berbisik.
Mata Zizi hampir melorot keluar sangkarnya. Aku hanya tersenyum. “ Kok bisa? “ Pertanyaan itu yang meluncur dari mulut Zizi.
Aku hanya mengangkat bahu. Dan berjalan lambat-lambat menuju kelas.
^^^
Makin hari, hubunganku dan Zildan makin membaik. Kami sering Ol bersama, walaupun kami menghindari pertemuan. Hanya pesan-pesan bersambung yang tak ada satupun manusia yang tau. Tak ada satupun! Kami memiliki dunia kami sendiri. Yang tak ingin ada orang lain tau!
Aku merasakan kebahagian yang sangat luar biasa saat dia bersamaku, walaupun hanya maya. Ia banyak bercerita tentang dunia pondok modern. Dari model pembelajaran sampai tata tertib. Dan ya Tuhan, aku mulai menyayanginya.
Hampir, 4 bulan dunia kami begitu damai. Hingga suatu hari pesan itu datang.
Oh, gua baru sadar.. terserah lu ajalah..!! dunia-dunia lu.!
Gua nggak nyangka.. !
Hanya dua baris namun cukup membuatku skate mate! Aku tak menangis, tak bergerak. Hampir membisu. Tak berdaya sama sekali. Aku mencoba menghubunginya, hasilnya? NOL!
Aku bertanya pada teman-temannya, tak ada yang tahu sama sekali. Sampai suatu hari, sebuah nomor baru menghubungiku.
“Halo? “ kataku.
“ Ini, Runa? “ Tanya yang diseberang.
“ Iya, ini siapa? “
“ Gua Toni, temennya Zildan. Sebelumnya gua minta maaf, kalo telvon gua bikin lu kaget. Kalo lu Tanya kenapa sikap Zildan ke lu jadi berubah, itu karena gua! “
Aku terdiam, masih berusaha mencerna setiap kata-kata yang meluncur. “ A..apa..? “ aku mulai terbata.
“ Sebenernya, gua nggak suka. Kalo Zildan deket-deket sama lu. Lu tau, Zildan udah punya pacar? “
Aku terdiam, menggeleng dalam hati. Tanganku membeku seketika itu juga.
“ Lu tau, Zildan tu sayang banget sama cewenya. Gua nggak suka ngeliat sikap dia ke Aisha berubah “
Hatiku, bagai tersambar petir disiang bolong! Siapa? Aisha? Aisha Nurul Gorwa,bukan?
“ Aisha, “ kataku tertahan, “ Aisha Nurul Gorwa, maksud akhi? “ tanyaku dengan suara yang sangat dipaksakan.
Orang yang mengaku namanya Toni, langsung mengiyakan.
“ Kok, tau? “
Aku masih terdiam, tak mengerti. Sakit!
“ Dii..dia..dia sahabat kecilku. “ aku merinding, menyebutnya ‘sahabat kecilku’, masih tak mengerti.
“ Oh, begitu. Nah, apa lagi dia sahabat ukhti. Ukhti nggak boleh nyakitin hati dia, ukhti harus sadar bahwa dia sahabat ukhti sendiri “ kata Toni.
Aku hanya mampu menjahit bibirku. Akhirnya, Toni pun menutup teleponnya. Sungguh, aku tak menangis. Rasanya hanya sakit. Saking sakitnya, aku tak mampu menangis. Aku berusaha menghubungi beberapa anak pondok yang mengenal Zildan dan membawa handphone. Jawabannya? Sama semua, Zildan dan Aisha berpacaran. Nyaris satu tahun! Zildan, aku menyukaimu, Aisha adalah kekasihmu dan aku menyayangi kalian berdua. Aku harus melunturka cinta ini. Tapi, ada satu rasa yang mengganjal dalam hatiku, duniaku begitu sempit! Aku benci!
^^^
“ I wanna go home “ kataku pada Zizi.
“ Serius? Perlu gua anter? “
Aku menggeleng, “ Bisa naik ojeg ” kataku. Kembali pada dunia nyata yang hampir membunuhku. Sepanjang perjalanan ke rumah, aku hanya terdiam. Sesekali berbicara arah ke rumah.
Saat, tiba di rumah, aku langsung membuka handphone. Banyak sms yang masuk. Rata-rata teman-teman Zildan yang meminta maaf karena, tak mengingatkanku dari awal. Terimakasih, kawan, tapi sudah terlambat. Aku tak menangis, aku tak tersenyum! Datar.
Perlu beberapa bagiku bulan untuk menyembuhkan lukaku. Hei, masih sangat segar luka itu! Masih terasa asamnya air mata. Aku tak berani menatap, kumbang-kumbang yang terus menggodaku. Aku kuat!!
Aku kan jatuh dan harus bisa bangun lagi! Itu, prinsipku.
^^^
Terburu-buru kami memasuki sebuah ruangan. Didalamnya sudah sangat ramai. Acara technical meeting untuk sebuah lomba, tingkat provinsi. Aku memerhatikan satu persatu orang-orang cerdas yang ada didalamnya.
DEG! Mataku tertuju pada satu wajah, wajah yang hampir tiga tahun tak aku temui. Adhiya Ghiaz El-Qatr. Aku hanya terdiam. Tak berani memandangnya lebih jauh, hanya hatiku yang bertasbih. Padangan pertama adalah anugerah dan yang kedua adalah zina.
Zizi menyenggol lenganku, “ Miss, sadar nggak? Cowo itu ngeliatin lu aja? Kaya lagi mengingat-ingat. Lu kenal nggak? “
Aku melihatnya sekilas. Menggeleng. “ Nggak! “
“ Sejak kapan, lu boong ma gua Ms. Runa! “ Zizi memelototiku. Aku mencebik, “ Nanti aja ceritanya “
Sungguh penyiksaan luar biasa, saat aku harus satu ruangan dengan ‘seseorang’ yang pernah menghilang dengan tiba-tiba dengan membawa hatiku, tanpa niat mengembalikannya lagi.
“ Hei, Runa. Luka Zildan belum juga pulih sempurna, jangan bermain api dengan jenis manusia apa pun! “ batinku berbisik. Lemah, tak berdaya.
Diperjalan pulang, lagu Only Hope dan You and I mengalun lembut diplay listku. Mata, aku tutup. Mobil berjalan pelan-pelan.
“ Are you, okay Miss..? “ Tanya Zizi berbisik.
Aku menggeleng, kedua mataku membentuk hulu sungai. “ Kenapa nangis? Zildan, right? “ aku menggeleng. “ Nggak tau.! “ kataku.
“ Who is he? Tell to me! “ Zizi menggenggam tanganku.
Hmm… aku menarik nafas, “ Dia.. aku juga nggak tau, mungkin pacar, mungkin mantan! “
“ Lah kok gitu? “ Zizi menatapku bingung. Aku menggelengkan kepala. Tak mengerti harus bagaimana. Ia (Adhiya Ghiaz El-Qatr ), akan menjadi obat sekaligus luka baru bagiku. Entah mengapa perasaan itu menggoyang jiwaku.
^^^
Lemas, aku pulang ke rumah. Tak ada semangat apa lagi gairah. Aku menggenggam handphone, membuka facebook. Aku ketikan satu nama. Berhasil keluar, ya itu dia! Adhiya Ghiaz El-Qatr. Ragu-ragu aku mengirim pesan padanya. Antara aku kirim dan aku konsep!
Kirim! Pori-pori jariku mengirimya. Aku tau, ia tak akan membalasnya! Tak akan!
Iseng, aku lihat-lihat infonya, ups. Berpacaran. Ada rasa sedikit, ya sangat sedikit. Mungkin perasaan cemburu.
Aku menambahkannya sebagai teman. Mungkin, ia tak akan mengkonfirmasikannya. Aku hanya bolak-balik melihat foto dialbumnya. Facebooknya tak di-protek seperti aku. Aku bisa dengan leluasa melihat-lihat.
Tak ada yang bisa aku katakan mulutku terkunci dengan rapat. Ia sudah berbeda, Ghiaz tak seperti dulu lagi.
You are my only hope, but you so far please come back from where you are*only hope… aku sudah mengatakan belum? Bahwa aku sangat menyukai Secondhand Serenade? Jadi, pasti semua perasaanku aku salurkan melalui lagu-lagu Secondhand.
Aku tertidur dengan dua hulu sungai dimataku dan lagu Your Call mengalun lembut pada headsetku. Dalam mimpiku, aku melihat sosok tenang dalam kegelapan. Berusaha menyentuhku, namun aku terlalu maya untuknya.
Dia menjauh dan menghilangkan sejuta pesonanya, aku tergagap sendirian. Aku mencarinya, berusaha berlari sekuat tenaga. Namun, ia keburu hilang dengan bulatan cahaya kecil diseberangku. Aku terjatuh terdiam dan sesegukan menangis.
Aku terbangun dengan wajah keringatan. Astagfirullah aku mimpi buruk. Jam didinding menunjukan pukul 23.45. Masih lama untuk matahari mengelupas kulit malam. Aku coba berbaring lagi. Tak bisa, aku tetap terbangun.
Tanganku bergerak perlahan menyusuri tumpukan kertas.. tanganku, mulai menari lagi. Ini masih malam, namun imajiku, menyuruhku untuk bertindak.
Tuhan, dengarkan :)
Tuhan, boleh aku meminta sedikit saja..
Buat ia mengagumiku, seperti aku mengaguminya,
Buat ia memendam rasa, seperti aku memendam rasaku,
Jika itu sulit dan hanya mimpi belaka,
Saat ia mengagumiku dan memedam rasa
Tuhanku, jangan biarkan aku bangun..
Buat aku tertidur, selama-lamanya aku mampu tertidur
Atau Kau membuat aku tertidur tanpa aku harus membuka mataku lagi..
Selamanya,
Agar aku selalu bisa merasakannya… :)
Hmmm… aku menghembuskan nafas panjang. Ah, menyebalkan! Aku tak mau merasakan yang namanya de javu lagi. Melelahkan!
Setelah aku menuntaskan hasratku pada garis-garis bisu dan kaku, aku baru mampu terlelap. Dengan mimpi-mimpi yang lain. Aku hanya sempat mendesah, Tuhan jangan biarkan aku bangun, selamanya…
^^^
1 hari, dua hari… ternyata Ghiaz membalas pesanku. Aku kaget shock. Hehe, tenyata dia masih mengingatku. Aku terdiam. Menyadari sebuah kesalahan. Aku tak bisa begini.
Tiga minggu ini mataku terlihat bengkak, Zizi yang menyadari hal itu langsung mengintogerasiku.
“ Kenapa mata lu? “ tanyanya dengan tatapan penuh selidik.
Aku menggeleng. “ Miss, lu tau. Lu nggak mungkin bisa ngebohongin gua “
Hmm… aku menghembuskan nafas, “ Gua pernah cerita soal Ghiazkan? “
“ Oh, jadi cowo nggak jelas itu yang bikin lu kaya gini? “ Tanya Zizi, terkandung nada amarah dalam suaranya.
“ Mungkin. “ kataku singkat.
Zizi menatapku dalam-dalam. “ Menurut pendapat gua, dia juga ngerasain apa yang lu rasain. Tapi, Cuma sebatas itu nggak lebih. Kenapa? Mengingat dia udah punya ehm.. maaf cewe, dia nggak mau nyakitin hati cewenya itu “ Komentar Zizi seolah meninju otakku dengan keras.
“ Terus? “
“ Wajar kalo misalnya kalian ngerasain hal itu lagi. Tapi inget, kalian udah punya kehidupan sendiri. Jadi, gua harap. Lu jangan terlalu ambisius, bahkan kalau bisa anggap lu nggak kenal dia. Oke sayang? “ Zizi tampak hat-hati.
Aku langsung mengambil kesimpulan, “ Dari nada bicara lu, lu nggak semangat. Lu seolah ‘ngelarang’ gua buat deket sama dia? Kenapa? “
Zizi memandangku, jilbabnya terhempas angin. “ Gua bukannya nggak suka, tapi nggak nyaman. Lu tau, dia anak mana. Dia terlalu dewasa melewati batas umurnya, dia pasti akan mementingkan kredibilitas diatas segala-galanya, fikirannya nggak mungkin bisa sesederhana lu, Yang. Dia punya sejuta cita-cita dengan wanitanya, pastinya. Sedangkan kita? Mungkin masih berjalan dunia mimpi. Dia udah tinggal melenggang ke UI, ITB, UGM atau bahkan Oxford. Tapi, kita? Impian masuk IPB pun harus dengan kerja keras “ Aku terhenyak, sejauh itukah aku dan Ghiaz?
Aku terdiam, berusaha menyerap kata-kata Zizi dalam-dalam. Zizi mengalihkan pandangan. “ Kalo lu terus-terusan masang status mellow nggak jelas difb, dia bakalan mikir lu tuh cewe lemah. Yang nggak bisa tanpa dia. Sedangkan yang gua tau, Aruna adalah cewe kuat! Lu harus bisa, Miss. “ kata-kata Zizi kembali menamparku.
^^^
Beberapa hari setelah berbicara 4 mata dengan Zizi, aku menemukan sesuatu yang mengejutkan. Memang sebelumnya Ghiaz mengatakan bahwa ia memiliki teman didaerah dekat rumahku. Hanya ada satu orang yang satu arah dan satu daerah denganku.
Puisi Ghiaz, berinisial G. tapi, aku tahu puisi itu ditujunkan bukan untuk dirinya sendiri. Tapi satu orang yang bisa jadi adalah ‘teman’nya didekat rumahku.
Dan dugaanku tepat.
Dialah kekasih Ghiaz. Kakak alm. Mantan pacar sahabatku, Rani. Kekasih Rani dulu meninggal dan kekasihnya itu adalah adik Gina.
Hahaha, untuk kedua kalinya duniaku terasa sempit. Tak mau ada luka yang sama, aku langsung hapus pertemanan difb. Tapi, Ghiaz malah meng-addku lagi. Entah tujuannya apa. Mungkin niatnya ingin berteman, atau malah menggodaku dengan perasaan ambigu. Entahlah…
By : Nida Adilah - XI IPS 1