Ketika Semua Dibayar Dengan Karya

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsy_O-eL3ZYN8G0lAXFb7IkbhnO93lUlGmyb-7yq2nVKEF6d6-xsMd6U9RcnDCPTAK3zfioJapJ000ADAAzuw5CQtHBNzZnbUUtlkuFq-5t7nKXl1ZprEINkm3QR2YR7_B1lrZbSnqIyc/s1600/buku-tamu-wordpress.jpg
“Tongeret tong…Tongeret tong kerrmiiii… Tamiang dibeulahan dibeulahan Awewe wantererrrrrrrrrrrr…. Awewe wantereriiiiiiirrrr….Ngajak kawin kaduaan kaduaan..” suara itu terdengar berkali-kali, ceria dan semangat. Aku yang baru bangun langsung melihat ke jendela kamar. Kulihat beberapa anak se-usiaku, tengah asyik memainkan angklung dan dogdog ( dogdog merupakan alat musik tabuh yang terbuat dari batang kayu yang berongga dengan bulatan berdiameter 15 cm dan ujungnya mengecil berdiameter antara 12-13 cm, sedangkan panjangnya lebih kurang 90 cm hingga 100 cm. Pada ujung bulatan yang berdiameter 15 cm itu ditutup dengan kulit kambing yang telah dikeringkan, kemudian diikat dengan tali bambu dan dipaseuk / baji untuk mengencangkan kulit tersebut, sehingga kalau dipukul Akan mengeluarkan suara dog.. dog.. Jadi, dogdog lojor adalah dogdog yang panjang ).


Aku menarik nafas panjang. Terbayang dibenakku beberapa tahun silam saat aku pun berlatih keras seperti mereka. Namun, perasaan itu kini tlah hilang terkoyak sebuah kejadian. Aku berjalan lemas menuju dapur, kulihat ibu sedang asyik membungkus lontong. Aku terseyum kecut, ibu melirikku dengan tatapan bingung.

“ Loh, Asep? Kenapa kamu? Kok keliatan kurang sehat gitu? “ Tanya ibu bingung. Aku hanya menggeleng. Diam-diam ada rasa salut luar biasa untuk ibuku tersayang. Setelah kematian bapak, hanya beliaulah yang menghidupi aku dan Ujang, Kakakku.

“ Oh ya, udah lama kamu nggak ikut latihan dogdog lojor. Seharusnya mah kejadian yang lalu teh nggak usah diinget-inget lagi, atuh bageur. Kamu mah sekarang teh, harus bisa melesetarikan kesenian khas ini, agar semua orang teh tau tentang dogdog lojor, seperti kemauan bapak kamu “ ibu menasehatiku dengan kata-kata yang mengiris hatiku.

Hm….aku menarik nafas lagi “ Ah, Ibu, Asep hanya sedang tidak enak badan, nanti juga Asep akan latihan lagi “ jawabku sambil berlalu. Ibu hanya menatapku tanpa mampu berkata-kata lagi.

:)

Sudah tiga tahun sejak kejadian itu berlalu, tapi rasanya baru kemarin aku melihat bapakku terbujur kaku dalam liang lahat. Beliau tak sempat melihatku menjadi siswa SMA yang gagah. Mungkin beliau, sekarang tengah kecewa terhadap sikapku yang seolah melupakan jati diriku. Pemain dogdog lojor.

“ Asep ! “ panggil Pak Purwa, aku menoleh. Melihatnya, seolah aku melihat bapakku. Seyumnya selalu mengembang. Kumis hitamnya pekat, membingkai bibir hitamnya. Mungkin terkena asap rokok yang terus menerus. “ Ada apa, Pak? “ tanyaku sambil terseyum. “ Kamu kan anak pelatih dogdog lojor “ aku terdiam, “ Apa kamu mau menjadi salah satu anggotanya untuk mengikuti lomba kesenian antar kabupaten? “ Tanya Pak Purwa, sambil tersenyum miring. Aku terdiam. “ Nanti, akan saya fikirkan lagi, Pak. “ jawabku kelu. Aku melangkah gontai menuju rumah, aku selalu benci apabila aku memikirkan tentang kesenian brengsek itu, yang telah merenggut nyawa bapakku tiga tahun lalu.

Ibu menyambut kepulanganku, dengan senyumannya. “ Assalamualaikum “ kataku sambil mencium tangannya. “ Wa’alaikumsalam “ jawabnya, ada senggurat kelelahan diwajah cantiknya itu. Kini, aku tahu kenapa bapak sangat mencintai ibu, mantan muridnya itu, karena beliau sangat cantik. Ibu dulu pemain angklung dikesenian dogdog lojor punya bapak. Kata bapak, bapak sangat mencintai ibu saat pertama kali beliau melihat Ibu. Ibu merupakan orang pertama yang bapak cintai. Dan selamanya.

“ Kamu udah makan, Sep? “, aku menggeleng sambil tersenyum. “ Nanti saja mau solat ashar dulu “ jawabku sambil berlalu dari hadapan Ibu.

Biasanya, kalau sore begini, kak Ujang sedang melatih dogdog lojor di alun-alun. Ada sedikit rasa rindu pada permainan itu. Oh hmmm, tiba-tiba aku teringat tawaran Pak Purwa. Selama dua tahun terkahir ini, beliaulah yang mengurus semua kebutuhan sekolahku, karena beliau tidak mempunyai anak. Tapi, bukankah aku sangat membenci dogdog lojor? Aku akan bicara, aku tak akan ikut permainan itu lagi. Selamanya.

:)

“ Maaf pak, saya nggak bisa “ akhirnya kata-kata kematian itu meluncur dari bibirku. Aku langsung melihat mimik kekecewaan dalam wajah Pak Purwa. “ Ah, ya sudah. Bapak mengerti. Kamu masih belum bisa menerima kejadian itu bukan? Tapi, bapak akan selalu menunggu kamu, Sep “ jawab Pak Purwa sambil menepuk bahuku. Aku tersenyum kecut. Maafkan aku, Pak. Bantinku.

Entah mengapa hari itu rasanya ingin sekali aku ke makam Bapak. Aku rindu sekali. Dengan langkah cepat, aku pergi ke makam bapak. Bau Kamboja, semerbak bermain dipenciumanku. Sudah lama aku tak kesini. Perlahan, dengan tubuh bergetar aku hampiri nisan kayu itu. “ Bapak “ ucapku lirih. “ Asep rindu, Bapak. Rindu sekali. Rasanya sudah lama Asep nggak kesini. Bapak apa kabar? Asep nakal ya? Asep nggak menjalankan amanah Bapak. Apa Bapak marah sama Asep? “ tak tahan air mata itu, meluncur sempurna sudut mataku.

“ Pak, Asep sayang bapak. Apa yang harus Asep lakukan, Pak? “ Tanyaku dalam kebisuan. Hening sejenak, saat aku mengusap air mata yang jatuh dipipiku. “ Asep “ suara berat itu tiba-tiba mengagetkanku. Aku menoleh, Bapak? DEG, jantungku berdetak cepat. “ Asep, sini nak.. “ ajak sosok yang amat aku rindukan itu. “ Ba…bapak…? “ tanyaku seolah tak percaya. Bapak mengangguk. Tanpa basa basi aku langsung memeluknya erat. “ Kamu kenapa, nak? “ Tanya Bapak lagi. “ Asep, Asep rindu Bapak “ kataku sambil terisak.

“ Asep, didunia ini tak ada yang abadi. Bapak juga merindukan kamu. Bapak sedih, melihat kamu yang seperti ini, membenci kesenian kita, karena bapak. Padahal budaya kita “ aku memandang Bapak, seolah tak percaya. Bapak balas memandang. Tatapannya teduh. “ Dengarkan, Asep yang bapak kenal tidak seperti ini, ia sangat mencintai keseniannya. Sangat membanggakannya, bukankah kita harus membanggakan apa yang kita miliki nak? Bapak tak punya apa-apa. Bapak hanya ingin kau menjaga apa yang sudah kita miliki “

“ Asepppp….. “ kudengar suara teriakan lagi, berbeda. “ Aseeppp…. Apa yang kamu lakukan disana nak? “ ya, aku benar-benar mendengar teriakan itu, lebih histeris kali ini. Ibu, suara itu suara Ibu. Tiba-tiba ada yang menubrukku. Ibu memelukku erat sekali. “ Asep, apa yang kamu lakukan dimakam bapakmu? “ Aku melihat Ibu, lalu melihat diriku sendiri. Bajuku kotor penuh dengan tanah kuburan Bapak. “ Ayo nak, kita pulang, sudah mulai larut “ ajak Ibu sambil membangunkanku.

:)

Sore itu, seperti biasa aku berlatih basket bersama timku. Tapi, aku sama sekali tidak berkonsentrasi terhadap permainanku. Pikiran dan pandanganku, terus kearah lapangan seberang, tempat anak-anak lain berlatih dogdog lojor. Entah kenapa, ada rasa rindu yang menusuk jantungku. Permainanku buruk, operanku tak menarik, semua seolah membenciku hari itu. Timku terus mengutukiku. Bola seakan membenciku. Hati kecilku berkata, tak seharusnya aku memainkan bola liar ini. Harusnya aku disana, memainkan dogdog yang selama ini diam-diam aku rindukan. Latihan pun selesai dengan kemarahan beberapa anggota tim terhadapku. “ Dasar ketua tim nggak becus lu “ ucap Dika kasar. Aku hanya menunduk tak berdaya. Langkah gontai menuntunku menemui Pak Purwa. Pak Purwa sempat kaget melihatku, namun diwajahnya terukir sebuah senyuman indah.

“ Pak, Asep mau berlatih dogdog lojor lagi “ kataku sambil memohon, Pak Purwa hanya mengangguk da tersenyum. Ada rasa hangat yang menyelimutiku saat itu, rasa yang ingin aku musnahkan namun aku tak mampu.

:)

“ Heh, penghianat! Boleh ya, ternyata lu maen belakang ama kita…!! “ bentak Riki sambil menarik kerah bajuku. “ Iya, hajar aja. Ketua tim apaan? Lebih milih kesenian nggak jelas dibandingkan kita. TIM BASKETnya! Udah pengen mati kali bos “ Aldo mengompori Riki. “ Sini gua yang hajar “ tawar Dika. Aku hanya pasrah. Inilah, yang paling tidak aku inginkan. Kekerasan. Buk..tonjokan itu berhasil mendarat dengan manis dibibirku. Darah segar mengucur dari sela bibirku. “ Heh, sekarang loe milih, mau tetep ikut tim basket kita, atau pak Purwa kesayangan lu itu dipecat ? “ ancam Dika. Dika dan Riki merupakan anak dari pemilik yayasan tempatku bersekolah. Aku menunduk lemas, rasa perih menyelimuti, bukan karena bibirku, namun karena ancaman mereka.

Akhirnya aku berhasil menguasai diri, “ saya, akan pilih dua-duanya “ jawabku tegas, mengingat aku ketua tim basket mereka aku punya tanggung jawab besar atas timku. Mereka yang menyerangku memandangku seolah tak percaya. Latihan basket sudah cukup melelahkan, ditambah harus dogdog lojor. Namun, mereka mengiyakan dengan beberapa catatan.

:)

Badanku terasa remuk, memang inilah konsekuensi yang harus kuambil saat aku bermain basket dan dogdog lojor. Aku baru sadar, tanggal perlombaan basket dan dogdog lojor ini pada hari yang sama. Aku harus ekstra kuat dan hati-hati dalam menjaga kesehatanku. Hari H tinggal satu hari lagi. Aku benar-benar kelelahan. Rasanya semua tubuhku menjadi bubur saat aku rebah dikasur. Pak Purwa menasehatiku berkali-kali untuk memikirkan ide gilaku ini. Namun, berkali-kali pula aku menolaknya. Aku pasti bisa!

Hari H pun tiba, pukul 09.00. aku menarik nafas panjang. Pukul 11.30 aku harus sudah berada di gedung kesenian. Aku terus berdoa, semoga permainan kali ini lancar.

Permainan dimulai dengan tembakan-tembakan indah hasil latihanku dan kawan-kawan. Set pertama dapat kami lewati dengan mulus, staminaku masih bagus. Timku, terus mengelu-elukanku. Aku tersenyum lega. Set kedua dimulai, lawanku mulai terlihat panas. Timku mulai kelabakan, aku pun merasa staminaku berkurang. Waktu permainan tinggal lima menit lagi. Skor seimbang dengan 78-78. Ya, hanya satu tembakan lagi, kataku dalam hati. Akhirnya dengan sisa tenaga yang ada aku berusaha mengoper bola pada Ray. “ Ray… Ray…” aku berteriak. “ Tangkap ini !!! ” ucapku hampir tertahan sambil mempertahankan bola. Ray berhasil menangkap bolaku, ia berlari kencang.

Tapi, tim lawan hampir menguasai bola. Ray yang cerdik langsung memberikannya pada Angga yang sedang pada posisi ‘manis’ tidak menyia-nyiakan kesempatan dan…MASUK…!! Ah, lega rasanya. Sorai-sorai penonton memenuhi auditorium. Priittt…priiitt… Peluit dibunyikan tanda kemenangan dan waktu habis, Aku benar-benar lega. Tanpa buang-buang waktu aku langsung mengambil tas dan berlari kearah jalan raya. Tak kuhiraukan lagi tim dan penontonku.

Aku langsung menyetop angkot. “ Bang, lewat gedung kesenian ya? “ tanyaku, nafasku seolah memburu. “ Iya, ayo naek “ jawab si abang angkot. Mobil berjalan lambat menurut perasaanku. Saat lampu merah, mobil ‘harus’ mengetem. Ah, aku benci. Aku langsung turun dan membayar angkot.

Aku berlari dengan sisa-sisa tenaga, saat aku berlari Dika lewat dan memberhentikan motornya, ia menoleh. Isyarat untuk menaikinya. Tanpa basa-basi aku langsung menaikinya. Tiba di tempat acara hanya ada waktu lima menit untuk ganti kostum. Aku benar-benar lelah. Tapi, aku berusaha untuk tetap tenang.

“ Baik… inilah SMA XX “ sambut sang pembawa acara. Riuh rendah penonton bersorak, tepuk tangan membahana disetiap kursi penonton.

Diawali pukulan dogdogku sebagai aba-aba bagi pemain angklung, maka permainan pun dimulai pada pukulan dogdog pakpak pong, pak………… Pak……pong, serempak pemain angklung pun memainkan alatnya. Permainan dogdog kami sudah cukup dikatakan lengkap. Mulai dari ucing-ucingan, oray-orayan, ngadu dogdog, ngadu domba dan terakhir ngadu jalan.

Saat dilagu terakhir, mataku tertuju pada sosok gadis manis berkerudung merah. Aku jadi langsung teringat lagu Band Wali dan terngiang-ngiang dalam telingaku…’tiba-tiba aku terpana ada kejutan tak terduga dia gadis berkerudung merah,hatiku tergugah tergoda…’ aku tersenyum geli, semangatku langsung timbul kembali. Kebetulan lagu yang aku bawakan saat ini adalah ‘Kacang Buncis’. Aku melirik gadisku, aduhai dia pun tampak terseyum malu.

“ Pak…pakk…pong… Cis kacang buncis nyengcle…heiii Ti anggolati kuda…hoiiii Nu geulis tembong pingping…pakk..pakk pong…Keun bae jang kaula…hoiii Cis kacang buncis nyengcle,,,Kembang cengek nu mencenges…heiii…heiii..hoii Nu geulis keur ngalewe…hoiii.. Dasar awewe jerenges pak…pongg pang…” tutup kelompok kesenian kami. Sambil menahan seyum aku kembali melirik gadis berkerudung merah itu. Ada getar-getar aneh yang baru aku rasakan. Aku berjalan tegap menuju Pak Purwa. Beliau tampak tersenyum bangga terhadap aku dan kawan-kawanku.

Pengumuman pemenang pun akan diumumkan, sebelum memberitahu siapa yang menang sang ketua pelaksana memberikan sepatah dua patah kata sebagai penutup dari acara. “ Selamat untuk kalian semua. Generasi muda yang mencintai seni dan mengapresiasikannya. Saya berharap, kedepannya generasi muda di Lebak ini mampu mengembangkan seni yang sudah ada. Bukankah akan indah bila kita semua mencintai kebudayaan kita sendiri. “ tepuk tangan penonton kembali terdengar kencang “ Akhirnya kita tiba pada acara yang dinanti-nantikan. Pengumuman juara. Baiklah… untuk juara tiga jatuh pada …. SMAN XIV …” penonton bersorak-sorak.

“ Juara…kedua… SMA XIX “ penonton kembali bersorak. Namun, hatiku cemas. Pasti tidak akan menang. Baru kami akan melangkahkan kaki keluar,

“ Juara satunya… jatuh kepada SMA XX… “ kami semua terdiam. Haru memenuhi rongga hatiku. Pak Purwa memintaku untuk memberikan sambutan sebagai perwakilan. Dengan hati bergetar aku pun maju.

“ Assalamualaikum… hmm… saya tidak tahu harus mulai darimana. Tapi yang jelas puji syukur terlimpah pada Allah swt. Kemenangan ini, untuk kawan-kawan dogdog lojor SMA XX, pembingbing kami Bapak Purwa, Ibuku dan untuk Bapakku. Bapakku yang tewas karena melindungi alat-alat dogdog lojor saat beberapa orang yang tidak menyukai keberhasilannya berniat untuk mencuri. Bapak yang rela terkena bacokan dan tusukan pada tubuhnya, untuk membela semua alat dogdog lojor…dan Bapak yang selalu mencintaiku… terimakasih…” ucapku sambil terisak-isak. Penonton hanya terpaku mendengar ucapannku. Tiba-tiba seorang penonton berdiri dan bertepuk tangan, diikuti oleh semuanya.

Akhirnya kini aku mengerti, inilah tempatku. Inilah duniaku. Aku berjanji, mulai dari sekarang aku akan lebih memperhatikan satu-satunya peninggalan bapak ini. Aku baru menyadari betapa peninggalan bapak ini sangat berarti. Tak akan mampu terganti dengan harta yang melimpah. Seni adalah sesuatu yang indah bila kita mampu mengapresiasikannya dengan tepat.

Lalu, bagaimana dengan gadis berkerudung merahku? Akan kucari kamu. Sampai kutemukan dirimu… dan akhirnya aku tahu…

“ Namanya Laila…”

#THE END#

By : Nida Adilah - XI IPS 1